- Back to Home »
- belajar Tauhid
Posted by : Unknown
Monday, 8 June 2015
( Seri-1 )
Muqaddimah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘alamin,
shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad,
keluarganya dan para shahabat.
Saat ini kita akan bersama-sama mengkaji tauhid dan
materi pertama yang akan kita bahas adalah berkenaan dengan muqaddimah yang
sangat penting, yang mana dari muqaddimah ini kita akan mengetahui betapa besar
kedudukan tauhid dibandingkan dengan amal-amal yang lainnya. Allah Subhanahu
Wa Ta’ala mengatakan dalam surat Adz Dzaariyaat: 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا
لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka
mengabdi (beribadah) kepada-Ku”
Jadi tujuan kita diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dan hidup di dunia ini adalah dalam rangka mengabdi kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala bukan mengabdi kepada selain
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita sebagai hamba Allah, tentu kita
adalah abdi bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan kita hanya
menghambakan diri dan mengabdikan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Saya ulangi… tujuan kita di dunia ini bukan apa-apa, tapi untuk
mengabdi “liya’ buduun” kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Adapun bumi dan isinya beserta semua pernak-perniknya Allah ciptakan untuk
bekal kehidupan kita. Allah Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ
جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit
dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al Baqarah [2]: 29)
Jadi, bumi dan segala isinya, baik yang ada di perut bumi ini
dan di atas bumi ini semuanya Allah ciptakan buat kita, sedangkan kita
diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk mengabdi kepada-Nya…
maka amat sangat keliru bila orang sibuk mengorbankan agama, mengorbankan
pengabdiannya kepada Allah dalam rangka mencapai kehidupan dunia yang sesaat,
padahal itu adalah bekal dalam hidup mengabdi mencapai ridha Allah Subhanahu
Wa Ta’ala.
Banyak sekali manusia mengorbankan tauhidnya, mengorbankan
diennya untuk mendapatkan materi, mendapatkan uang, makanan, atau harta benda
lainnya dari dunia yang fana ini padahal Allah Subhanahu Wa Ta’alasangat
menghati-hatikannya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ
حَقٌّ فَلا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ
الْغَرُورُ
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka
sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali
janganlah syaithan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah”. (QS. Faathir [35]: 5)
Jadi, kalau orang lupa kepada tujuan hidup yaitu pengabdian
kepada Allah dan ia malah menjadi hamba atau abdi bagi selain Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berarti dia telah terpedaya dengan kehidupan dunia, dia
terpedaya oleh syaitan dan dia lupa akan tujuan hidup yang sebenarnya.
Saya ulangi, kita diciptakan untuk mengabdi kepada Allah, untuk
beribadah kepada Allah, akan tetapi dikarenakan kita -manusia- ini
terbatas kemampuan akalnya, Allah menciptakan manusia ini sebagai makhluq yang
bodoh lagi dhalim. Manusia tidak bisa mengabdi sebenar-benarnya kepada Allah
dengan sendirinya tanpa ada bimbingan, maka dari itu AllahSubhanahu Wa
Ta’ala mengutus para Rasul-Nya sebagai pembimbing manusia. Allah juga
mengetahui bahwa Rasul-Rasul itu tidak akan hidup abadi di tengah umatnya…
Mereka pasti meninggal dunia, maka Allah menurunkan Kitab-Nya sebagai pedoman
yang harus dipegang oleh orang-orang yang mengikuti para Rasul tersebut.
Jadi Rasul adalah pembimbing dan kitab adalah pedoman hidup,
bila kita ingin mencapai kepada Allah, maka kita harus mengikuti apa yang
dituntunkan oleh Rasul dan mengikuti pedoman yang telah Allah turunkan, yang
mana pedoman ini adalah tali Allah yang Dia ulurkan ke dunia, barangsiapa
memegang tali Allah ini (tali Allah adalah pedoman Islam yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul-Nya) maka akan sampai kepada ridha Allah, tapi kalau memegang
kitab-kitab yang lainnya yang tidak ada dasar dari Allah yaitu kitab-kitab yang
diulurkan oleh syaitan dari neraka, berupa ajaran selain Kitabullah atau selain
ajaran Rasul-Nya, maka kitab tersebut akan menghantarkan ke dasar api neraka.
Berbeda jika orang memegang Al-Qur’an -tali yang diturunkan Allah ke
dunia- maka akan sampai kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jadi
disini, Rasul diutus sebagai pembimbing.
Apakah inti dakwah para Rasul? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا
أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An Nahl [16]: 36).
Ayat ini secara tegas dan jelas menjelaskan bahwa semua Rasul
diutus oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan yang pertama kali mereka
ucapkan kepada kaumnya dan ini diucapkan oleh para Rasul terhadap umatnya
termasuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah “Ibadahlah
kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut”
Dalam ayat lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ
إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan
Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku,
Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.(QS. Al-Anbiyaa [21]:25)
Jadi bagi semua Rasul, yang pertama Allah wahyukan kepada mereka
adalah Laa ilaaha illallaah, dan Laa ilaaha illallaah ini yang
disampaikan oleh para Rasul dalam ayat ke-36 Surat An-Nahl tadi (“Ibadahlah
kalian kepada Allah dan Jauhilah thaghut”) Jika kedua ayat tersebut
digabungkan, maka maknanya adalah: ibadahlah kalian kepada Allah dan
jauhilah thaghut. Laa ilaaha maknanya: Jauhilah
thaghut dan illallaah maknanya ibadah kalian kepada
Allah.
Ajaran Tauhid (Laa ilaaha illallaah) ini
disepakati oleh semua Rasul, dari Rasul pertama sampai Rasul terakhir, jadi
ajaran para Rasul dalam masalah tauhid adalah sama, perintah untuk hanya
beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut.
Apakah thaghut itu…? Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’alamemerintahkan
kita untuk menjauhi thaghut. Apakah kita tahu apa thaghut itu? Bagaimana kita menjauhi
thaghut?. Keimanan seseorang kepada Allah tidak akan bermanfaat tanpa menjauhi
thaghut, karena Laa ilaaha illallaah itu mempunyai dua rukun:yang
pertama: Laa ilaaha yang berarti jauhi thaghut, sedangkan yang
kedua illallaah (kecuali Allah) maksudnya ibadahlah kalian
hanya kepada Allah. Salah satunya tidak bisa berdiri tanpa yang lainnya.
Orang yang menjauhi thaghut tapi tidak beriman kepada Allah,
maka tidak bermanfaat, begitu juga orang yang iman kepada Allah tapi tidak
menjauhi thaghut maka keimanan kepada Allah tersebut tidak akan bermanfaat,
akan tetapi harus digabungkan: “Ibadah kepada Allah dan menjauhi
thaghut”.
Jadi semua dakwah para Rasul adalah sama dalam masalah Laa
ilaaha illallaah, yaitu ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut.
AllahTa’ala berfirman:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ
بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
“Barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya dia berpegang (teguh) pada buhul tali yang sangat kuat yang tidak
akan putus” (QS. Al-Baqarah [2]:
256)
Buhul tali yang sangat kokoh ini adalah Laa ilaaha
illallaah, tadi telah saya utarakan…
Itulah tali yang Allah ulurkan ke dunia ini, barangsiapa yang
kafir terhadap thaghut atau bahasa lainnya dalam surat An-Nahl 36: “menjauhi
thaghut dan beriman kepada Allah (beribadahlah kepada Allah)” maka
orang tersebut telah memegang buhul tali yang amat kokoh yaitu Laa
ilaaha illallaah yang dijelaskan dalam surat Al-Anbiyaa: 25.
Jadi maknanya: Siapa yang kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah, maka
orang tersebut telah memegang Laa ilaaha illallaah, artinya kalau
orang tidak kafir terhadap thaghut walaupun ia beriman kepada Allah, maka dia
itu belum memegang Laa ilaaha illallaah meskipun ia
mengucapkannya dan walaupun ia mengakuinya.
Jadi orang yang kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah
disebut orang yang telah memegang Al ‘Urwah Al Wutsqa, Al-‘Urwah adalah
ikatan dan Al-Wutsqa adalah yang amat kokoh dan ikatan yang
amat kokoh ini adalah tauhid (Laa ilaha illallaah) karena ikatan tersebut tidak
akan putus.
Allah mensyaratkan bagi seseorang agar dapat dikatakan
memegang Laa ilaaha illallaah adalah dengan dua hal: Iman kepada
Allah dan kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan ibadah hanya kepada
Allah. Sedangkan kita mengetahui bahwa rukun islam yang paling pertama
adalah Laa ilaaha illallaah. Dalam hadits Al Bukhariy dan Muslim yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma, Rasulullahshallallahu’alaihi
wa sallam mengatakan: “Islam dibangun atas lima hal, yang
pertama adalah syahadatain Laa ilaha illallaah wa ana Muhammad Rasulullah...”. Dan
kita juga mengetahui bahwa orang dikatakan telah masuk Islam adalah apabila
berkomitmen dengan Laa ilaaha illallaah.
Kunci masuk Islam adalah Laa ilaaha illallaah sebagaimana
kunci masuk surga adalah Laa ilaaha illallaah. Maksudnya
adalah bukan sekedar mengucapkan, akan tetapi komitmen dengan makna
kandungannya yaitu kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan iman atau
ibadah hanya kepada Allah artinya: Apabila orang tidak
merealisasikan Laa ilaaha illallaah maka orang tersebut belum
memiliki kunci keislaman yaitu pengamalan akan Laa ilaaha illallaah.
Oleh karena itu para ‘ulama seperti: Syaikh Sulaiman Ibnu
‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata
dalam kitab beliauTaisir Al ’Aziz Al Hamid: “Sekedar
mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa
mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan segala
bentuk syirik akbar dan kafir terhadap thaghut maka pengucapan Laa ilaaha
illallaah-nya tersebut tidak bermanfaat berdasarkan ijma para ulama”.
Jadi hal itu tidak bermanfaat walaupun mengucapkannya
beratus-ratus kali atau beribu-ribu kali dalam setiap hari, apabila tidak
memahami maknanya dan tanpa komitmen dengan kandungannya, maka itu tidaklah
bermanfaat berdasarkan ijma’ para ulama.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya
telah menjelaskan dalam hadits Muslim yang disebutkan dalam shahihnya
yaitu Dari Abu Malik Al-Asyja’i, beliau bersabda: “Barangsiapa yang
mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan ia kafir terhadap segala sesuatu yang
diibadati selain Allah -maksudnya kafir terhadap Thaghut- maka
haram darah dan hartanya”. Di sini Allah Subhanahu Wa Ta’alamenetapkan
keharaman darah dan harta, maksudnya orang dikatakan berstatus muslim yang
haram harta dan darahnya, jika ia mengucapkanLaa ilaaha illallaah dan
kafir terhadap thaghut. Jadi sekedar mengucapkannya adalah tidak bermanfaat dan
orangnya belum masuk ke dalam Al-Islam, bila tidak kafir kepada thaghut.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata
dalam kitab beliau Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain: “Islam
itu adalah mentauhidkan Allah dan ibadah hanya kepada Allah saja tidak ada
satupun sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti apa
yang dibawa oleh Rasul, dan barangsiapa tidak membawa hal ini, maka ia bukan muslim”.
Karena ia belum memegang Laa ilaaha illallaah.
Jadi Laa ilaaha illallaah itu
memiliki makna dan memiliki kandungan serta memiliki konsekuensi yang di
antaranya adalah kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut.
Allah memerintahkan kita untuk menjauhi thaghut, maka tak mungkin
Allah tidak memberikan penjelasan tentang thaghut… itu mustahil, jika shalat
saja yang Allah fardhukan 10 tahun setelah kerasulan (Nabi Muhammadshallallhu’alaihi
wa sallam diangkat menjadi Rasul,ed) dijelaskan dalam sunnahnya secara
terperinci oleh Rasul-Nya, maka apalagi thaghut yang mana Allah perintahkan
semenjak awal Rasul diutus untuk mengatakan: “jauhi thaghut…!” tentulah Allah
menjelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an, dan Allah pasti menjabarkan
bagaimana tata cara kafir terhadap thaghut…
Kita tanya diri kita, apakah saya sudah tahu
apa itu thaghut? atau apakah justru saya mendekati thaghut? atau malah saya
iman kepada thaghut? atau malah saya loyal kepada thaghut? Semua jawaban ada
pada diri kita sendiri, maka dari itu hal ini mengharuskan kita untuk
mengetahuinya.
Apabila kita paham bahwa keislaman seseorang atau dengan kata
lain seseorang tidak dikatakan muslim, tidak dikatakan mukmin adalah kecuali
kalau kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah, maka selanjutnya… sebelum
kita mengupas lebih banyak apa maknanya, maka terlebih dahulu harus kita ingat
bahwa segala amal ibadah; baik itu shalat, zakat, shaum, haji, i’tikaf, shalat
tarawih dan yang lainnya tidak akan Allah terima, tidak akan Allah balas kalau
orangnya belum muslim, belum mukmin. Maksudnya di sini adalah muslim… mukmin
yang sebenarnya -bukan pengakuan saja-, yaitu muslim yang
merealisasikan Laa ilaaha illallaah karena para ulama menjelaskan dari
uraian-uraian yang tadi mereka mengatakan: “Para ulama sepakat, bahwa orang
yang memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah, maka dia itu orang
musyrik walaupun dia shalat, zakat, shaum, mengaku muslim dan
mengucapkan Laa ilaaha illallaah” (Lihat Ibthal At Tandid).
Allah hanya akan menerima amal shalih yang
dilakukan seseorang dengan syarat orang tersebut merealisasikan Laa ilaaha
illallaah (kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah), karena orang
tidak dikatakan muslim dan tidak dikatakan mukmin kecuali kalau kafir terhadap
thaghut dan iman kepada Allah atau merealisasikan Laa ilaaha illallaah.
Mari kita ambil beberapa ayat yang menerangkan
bahwa amal shalih tidak akan Allah balas kalau orangnya (pelakunya) tidak kafir
terhadap thaghut.
1.
Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ
أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا
يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
“Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki
maupun perempuan sedang dia itu mukimin, maka mereka itu akan masuk
surga dan mereka tidak dizhalimi sedikitpun” (QS. An-Nisa [4]: 124).
Perhatikanlah ayat “dia itu mukmin”, sedangkan
orang tidak dikatakan mukmin, kecuali orang tersebut kafir terhadap thaghut,
karena -seperti yang sudah dijelaskan- pintu masuk Islam adalah Laa
ilaaha illallaah dan maknanya adalah kafir terhadap thaghut dan iman
kepada Allah.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah akan memberikan balasan surga
dan tidak sedikitpun mengurangi amal shalih yang dilakukan seseorang baik itu
laki-laki ataupun perempuan dengan syarat dia mukmin, sedangkan orang yang
melakukan shalat, zakat, shaum, haji, jihad dan yang lainnya namun dia
ternyata tawalliy kepada thaghut atau masih melakukan
kemusyrikan atau yang lainnya yang melanggar Laa ilaaha illallaah, maka
balasan tadi tidak akan diberikan karena Allah mengatakan “sedang dia itu
mukmin”sebagai syaratnya.
2. Allah Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى
وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan
sedang dia itu mukmin, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl [16]: 97)
Amal shalih yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan akan
ada balasannya dari Allah, akan tetapi ada syaratnya yaitu: “sedang dia
itu mukmin”. Orang mukmin yaitu yang merealisasikan keimanan yang
intinya ada dalam makna kandungan Laa ilaaha illallaah (kafir
terhadap thaghut dan iman kepada Allah)
Dua ayat di atas sama, semuanya tentang amal shalih, ada balasan
di ujungnya, sedang di tengahnya ada syarat: “sedang dia itu mukmin”.
3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَلا يَخَافُ ظُلْمًا وَلا هَضْمًا
“Dan barangsiapa mengerjakan kebajikan sedang dia itu mukmin,
maka dia tidak khawatir akan perlakuan zhalim terhadapnya dan tidak (pula
khawatir) akan pengurangan haknya”. (QS. Thaha [20]: 112)
Orang yang melakukan amal shalih tidak akan dizhalimi oleh Allah,
dan tidak akan dikurangi pahalanya tapi ada syaratnya: “sedang dia itu
mukmin”orangnya mukmin, orangnya (pelakunya) itu kafir terhadap thaghut
atau menjauhi thaghut dan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala.Sebaliknya jika orang melakukan amal shalih, tapi tidak menjauhi
thaghut maka amalnya tidak akan diberikan balasan oleh Allah Subhanahu
Wa Ta’ala.
4. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَلا كُفْرَانَ لِسَعْيِهِ وَإِنَّا لَهُ كَاتِبُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan sedang dia itu mukmin,
maka usahanya tidak akan diingkari (sia-sia) dan sungguh Kami akan mencatat
untuknya” (QS. Al-Anbiyaa [21]:
94)
Amal shalih yang dilakukan seseorang akan dicatat oleh Allah ‘Azza
Wa Jalla dan tidak akan diingkari-Nya dengan syarat: “sedang dia
itu mukmin”.Berarti kalau seseorang melakukan amal shalih akan tetapi belum
merealisasikan ”kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah” (Laa ilaha
illallaah) maka tidak akan dicatat oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
5. Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا
بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Barangsiappa mengerjakan kebajikan baik laki-laki maupun
perempuan sedang dia itu mukmin maka mereka akan masuk surga, merea diberi
rizqi di dalamnya tanpa batas”. (QS Al Mu’min [40]: 40)
Ada balasan surga dan ada balasan terhadap amal shalih yang
dilakukan oleh setiap individu insan dengan syarat: “Sedang ia itu
mukmin”
6. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا
سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
“Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah
itu dengan sungguh-sungguh sedang dia itu mukmin, maka mereka itulah orang yang
usahanya dibalas dengan baik. (QS. Al Isra [17]: 19)
Amal shalih yang dilakukan seseorang akan dibalas oleh
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan syarat: “sedang dia itu
mukmin”
7. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ
الصَّالِحَاتِ فَأُولَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَى
“Barangsiapa datang kepada-Nya dalam keadaan beriman dan telah
mengerjakan kebajikan, maka mereka itulah orang yang memperoleh derajat yang
tinggi” (QS. Thaahaa [20]: 75)
Allah janjikan surga atas amal shalih yang
dilakukan seseorang dengan syarat dia itu mukmin. Dia iman kepada Allah dan
kufur kepada thaghut.
Semua ayat-ayat di atas dengan jelas dan tegas
menjelaskan bahwa sekedar orang shalat, zakat, haji dan yang lainnya belum
tentu dia itu muslim kalau dia belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah.
Dan yang harus diperhatikan adalah bahwa
ajaran yang paling pokok di dalam Islam ini dan yang paling
nikmat adalah bila seseorang telah mendapatkan karunia-Nya
adalah ketika dia memahami dan bisa mengamalkan kandungan Laa ilaaha
illallaah.
Ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mendakwahkan Laa
ilaaha illallaah, sebelum diangkat menjadi Rasul yang mana digelari oleh
masyarakat sekitarnya sebagai Al-Amin (orang yang jujur
lagi terpercaya), tetapi ketika mendakwahkan Laa ilaaha
illallaah maka gelar itu berubah menjadi: “Tukang sihir lagi
pendusta” (QS. Shaad: 4), berubah menjadi: “Penya’ir Gila” (QS.
Ash Shaaffat: 36), dan dalam ayat yang lain dikatakan “sesat”. Semua
perubahan ini terjadi karena mengamalkan Laa ilaaha illallaah.
Tidak mungkin orang sekedar mengucapkan Laa ilaaha
illallaah langsung dikatakan: gila, pendusta, penya’ir gila…
melainkan ketika mengamalkan konsekuensi Laa ilaaha illallaah.
Rasulullah dilempari, dicekik, Bilal disiksa, Sumayyah dibunuh,
Yasir dibunuh, Ammar disiksa dan karena mendapat intimidasi yang dahsyat, maka
para shahabat yang lainnya diizinkan hijrah ke Habasyah (Ethiopia),
meninggalkan kampung halaman, rumah, harta benda, mengarungi padang pasir yang
luas dan mengarungi lautan yang jauh untuk menyeberang ke Benua Afrika, karena
apa…? Karena mempertahankan Laa ilaaha illallaah.
Andaikata Laa ilaha illallaah itu hanya
sekedar mengucapkan tanpa ada konsekuensi logis yang dituntut oleh kalimat tersebut
pada realita kehidupan, maka tidak mungkin terjadi apa yang menimpa mereka.
Sekarang misalnya kita mengucapkan Laa
ilaaha illallaah di hadapan thaghut maka kita tidak akan diapa-apakan.
Akan tetapi ketika mengamalkan kandungan Laa ilaaha illallaah maka
akan terjadi apa yang (mesti) terjadi berupa: orang-orang menggunjing,
orang-orang menjauhi dan mencela kita, dan bahkan thaghut mengejar dan
memenjarakan itulah yang terjadi ketika kita mengamalkan konsekuensinya.
Nabi Nuh ‘alaihissalam ketika mendakwahkan Laa
ilaaha illallaahmemakan waktu yang sangat lama, karena beratnya sehingga
kaumnya menolak:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ
فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلا خَمْسِينَ عَامًا
“Dan sungguh kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia
tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun” (QS.
Al-Ankabuut [29]: 14).
Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam waktu sekian lama
hanya mempunyai pengikut sebanyak 40 orang -sebagaimana yang
dikatakan sebagian ulama- disebabkan beratnya kandungan Laa
ilaaha illallaah.
Sekarang, shalat tidak dilarang di manapun, baik orang
kafir ashliy atau orang kafir murtad atau thaghut tidak
melarang shalat, bahkan shalat dianjurkan, shaum bagi mereka adalah
penghematan, haji bagi mereka menambah pendapatan negara, akan tetapi…
ketika mengamalkan kandungan Laa ilaaha illallaah, maka yang ada
adalah: penyiksaan, intimidasi, penjara, pembunuhan dan yang lainnya… Itu semua
adalah ketika Laa ilaaha illallaah dipegang.
Kita sering mendengar bahwa nikmat yang paling
agung adalah nikmat iman dan islam, hal itu adalah Laa ilaaha illallaah,
namun bukan hanya sekedar ucapan tanpa mengetahui maknanya. Jika orang tidak
memahami hakikat Laa ilaaha illallaah dan tidak mengamalkannya, maka
ia tidak mungkin merasakan nikmat itu, akan tetapi di sini apabila orang
memahaminya, mengamalkannya ~walaupun harus meninggalkan harta dunia atau
materi atau apa saja yang ia miliki~ apabila dia sudah merasakan
nikmat Laa ilaaha illallaah, maka ia akan berani meninggalkan semuanya
demi meraih ridha Allah… meraih surga dan selamat dari api neraka.
Sebaliknya, orang yang melakukan amal shalih, sedangkan ia tidak
merealisasikan makna Laa ilaaha illallaah, masih berlumuran dengan
kemusyirikan, kekafiran, kethaghutan dan yang lainnya, maka nestapa yang akan
dirasakannya adalah sebagaimana yang Allah gambarkan dalam firman-Nya tentang
orang-orang yang melakukan amal shalih sedangkan dia belum merealisasikan Laa
ilaaha illallaah yaitu:
Firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ
فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu
Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan” (QS. Al-Furqan [25]: 23)
Jadi tidak ada artinya alias hilang… shalatnya,
zakatnya, shaumnya, hajinya, berbuat baiknya kepada tetangga, perbuatan baiknya
kepada orang tuanya, dan kebaikan-kebaikan lainnya, maka semuanya hilang lenyap
karena kemusyrikan. Amal shalih hanya akan diterima oleh Allah dengan
syarat “sedang dia itu mukmin” yaitu komitmen dengan Laa
ilaaha illallaah, orangnya muwahhid (bertauhid).
Firman-Nya yang menggambarkan tentang realita
umat yang merasa telah melakukan amal baik berupa amal-amal shalih dan menjadi
bagian kaum muslimin padahal sebenarnya dirinya itu masih musyrik dan masih
kafir tanpa ia menyadari adalah…
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ
بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ
شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ
الْحِسَابِ
“Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di
tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi apabila
didatangi tidak ada apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya”(QS. An-Nur [24]: 39).
Ayat “dan orang-orang kafir” adalah siapa saja
yang belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah, baik itu mengaku muslim atau
non muslim, mau shalat, mau zakat ataupun haji akan tetapi belum
merealisasikan Laa ilaaha illallaah maka pada
hakikatnya dia masih kafir.
Allah memperumpamakan amalan orang-orang yang belum
merealisasikan Laa ilaaha illallaah seperti fatamorgana,
maksudnya adalah bahwa orang yang merasa dirinya sudah muslim (ia melakukan)
shalat, zakat, haji dan banyak berbuat baik pada sesama, lalu ia mengira
pahalanya sudah menumpuk di sisi Allah, dia siap memetiknya hingga dia mengira
akan masuk surga, dan ketika didatangi (maksudnya: mati) menemui Allah, yang
mana sebelumnya dia di dunia mengira pahala sudah menumpuk… ternyata realitanya
dia tidak mendapatkan apa-apa, kenapa…? karena Allah tidak mencatatnya, karena
amalan itu tidak ada artinya, sungguh sangat kecewa, padahal dahulu ketika di
dunia dia mengira bahwa dia calon penghuni surga dan aman dari api neraka,
ternyata yang ada adalah nestapa yang dia dapatkan dalam realita yang seperti
itu… Bagaimana sekiranya kalau hal itu menimpa diri kita? Ini adalah
gambaran dalam ayat tersebut.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ
أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لا
يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلالُ الْبَعِيدُ
“Perumpamaan orang yang kafir kepada Tuhannya, perbuatan mereka
seperti debu yang ditiup oleh angin keras pada suatu hari yang berangin
kencang. Mereka tidak kuasa (mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yang
telah mereka usahakan (di dunia)” (QS. Ibrahim [14]: 18)
Jika kita menyimpan debu di depan rumah, lalu
tiba-tiba debu tersebut ditiup badai… maka apa yang terjadi? Maka kita akan
lihat debu tersebut beterbangan. Begitu juga amal shalih, ia seperti tumpukan
debu, sedangkan noda-noda kekafiran, kemusyrikan, kethaghutan adalah badai yang
meniup dan menghempaskan amal shalih yang menumpuk, maka amal shalih itu hilang
diterpa badai kemusyrikan tersebut.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ
الْخَاسِرِينَ
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada Nabi-Nabi yang
sebelummu: Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus
amalanmu dan tentulah engkau termasuk orang yang merugi.”(QS. Az-Zumar [39]: 65)
Allah Ta’ala mengingatkan Rasulullah shalallahu’alaihi
wa sallam, beliau adalah orang muslim, muwahhid, dan mukmin. Akan tetapi
jika Rasulullah melakukan kemusyrikan ~sedangkan kedudukan beliau adalah Rasul~
beliau diberikan ancaman oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka apa
gerangan dengan kita..?
Rugi, karena sudah capek beramal, banyak
mengeluarkan biaya, apalagi kalau pergi Haji tentu memakan biaya besar, akan
tetapi ternyata tidak mendapatkan apa-apa… bukankah ini suatu kerugian…???
Bahkan bukan hanya Rasulullah Muhammad shalallahu’alaihi
wa sallamsaja, akan tetapi semua rasul diperingatkan dengan ancaman oleh
AllahSubhanahu Wa Ta’ala dalam kitab-Nya:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan
yang telah mereka kerjakan” (QS. Al-An’am [6]: 88)
Andai kamu hai orang-orang muslim… hai siapa
saja, bila melakukan kemusyrikan, maka lenyaplah amal kamu seperti tumpukan
debu yang dihempas oleh badai, sehingga ketika mengaku sebagai seorang muslim,
merasa dirinya sudah Islam, melakukan shalat, zakat, haji, berjihad, berbakti
kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, memberi kepada sesama dan yang
lainnya, akan tetapi bila realita sebenarnya dia itu belum merealisasikan Laa
ilaaha illallaah dan belum kufur terhadap thaghut dan merasa dirinya sudah
benar, sudah Islam, dia merasa bahwa kalau dia mati bisa memetik hasil amal shalih
yang telah dia lakukan, akan tetapi ternyata ketika dia datang ke akhirat ia
tidak mendapatkan apa-apa sehingga ini yang Allah gambarkan dalam firman-Nya:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ
أَعْمَالا (١٠٣) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ
يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang
paling rugi perbuatannya? (yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al Kahfi [18]: 103-104).
Mereka mengira sudah berbuat sebaik-baiknya, mengira bahwa dia
itu calon penghuni surga, mengira bahwa amalannya diterima AllahSubhanahu Wa
Ta’ala, mengira dirinya aman dari api neraka. Tapi ternyata… tidaklah
seperti yang dia perkirakan. Bukannya pahala yang didapatkannya, akan tetapi
malah siksa api neraka, karena apa? karena belum merealisasikan inti dari
ajaran Islam -Laa ilaaha illallaah (iman kepada Allah dan kufur
terhadap thaghut)- sehingga nestapa inilah yang akan dirasakan dan apa
yang Allah gambarkan dalam firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ (٢) عَامِلَةٌ
نَاصِبَةٌ (٣) تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
“Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk hina, (karena)
bekerja keras lagi kepayahan, mereka memasuki api yang sangat panas“ (QS. Al Ghaasyiyah [88]: 2-4)
Bukan surga yang didapat, akan tetapi dia
masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Alangkah ruginya, alangkah sedihnya
ketika kondisi yang di sana tidak ada lagi kesempatan untuk kembali lagi ke
dunia. Mungkin, ketika orang melakukan kegagalan di dunia ini, dia bisa
mengulang dan bisa mengambil pelajaran karena masih ada kesempatan tapi di
akhirat maka tidak akan ada lagi kesempatan.
Orang yang dahulunya menentang Allah dan
mengikuti thaghut, mereka akan berkata seperti yang Allah gambarkan dalam
firman-Nya:
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ
الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الأسْبَابُ (١٦٦)
وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ
كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ
عَلَيْهِمْ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala
hubungan di antara mereka terputus sama sekali”. Dan berkatalah orang-orang
yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan
berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami”.
Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi
sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api
neraka”. (QS. Al-Baqarah [2]:
166-167)
Jadi, tauhid (Laa ilaaha illallaah) adalah inti kehidupan kita,
inti dari dien kita. Realisasikan tauhid ini, jauhi
thaghut sebelum Allah Subhanahu Wa Ta’ala menutup
akhir hayat kita sedangkan kita belum berlepas diri dari kethaghutan,
karena kehidupan dunia hanya sementara, kehidupan abadi adalah di akhirat.
Allah menciptakan kita di dunia untuk mengabdi kepada Allah… untuk menjauhi
thaghut.
Apakah thaghut itu? Apa kita sudah tahu apa thaghut, yang mana Allah memerintahkan kita untuk
menjauhinya? Dimana keimanan kepada Allah tidak akan bermanfaat tanpa kafir
kepada thaghut dan bagaimana cara kita menjauhi thaghut? Dan apa saja yang membatalkan Laa ilaaha
illallaah? Apa saja yang menggugurkan Laa ilaaha illallaah? Jika kita
mengetahui apa yang membatalkan wudhu padahal seharusnya kita terlebih dahulu
mengetahui apa yang membatalkan Laa ilaaha illallaah… yakni yang
membatalkan tauhid kita.
Semua itu akan lebih memahamkan kita ketika mendengar ayat-ayat
yang tadi saya sampaikan tentang begitu pentingnya Laa ilaaha
illallaah dan begitu besarnya kandungan Laa ilaaha illallaah ini
sehingga amalan tidak bisa diterima tanpa adanya pengamalan terhadap Laa
ilaaha illallaah. Semua ini mendorong kita untuk mengetahui apa sebenarnya yang
dikandung oleh Laa ilaaha illallaah dan bagaimana hukumnya
berloyalitas terhadap thaghut. Semua ini harus diketahui.
Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada
Nabi kita, keluarganya dan para shahabatnya, serta orang-orang yang
mengikutinya sampai hari kiamat…
Alhamdulillahirrabbil’aalamiin.