- Back to Home »
- patologi sosial mengenai KORUPSI
Posted by : Unknown
Monday, 8 June 2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan
keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagaisuatu proses
perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas
dan keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber
daya manusia, yakni (orang-orang yang terlibatsejak dari perencanaan samapai
pada pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantaradua faktor tersebut yang paling
dominan adalah faktor manusianya.Indonesia merupakan salah satu negara terkaya
di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi
ironisnya, negaratercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia
bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang
miskin.Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas
sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan
atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya.
Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara
menyebabkan terjadinya korupsi.Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan
patologi social (penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah
mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang
lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasankeuangan
negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggotalegislatif dengan
dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lainsebagainya di luar batas
kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi
hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itumerupakan cerminan rendahnya moralitas
dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung.
Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau
kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil
memberantas korupsi,atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadir yang
paling rendahmaka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya
dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju. Karenakorupsi
membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara ke jurang
kehancuran.
B.
Perumusan
Masalah
Agar pembahasan dalam
makalah ini tidak
meluas, penulis mencoba menguraikan pembahasan terbatas
pada permasalahan berikut ini:
1. Apa
pengertian Korupsi secara Teoritis?
2. Bagaimana
tindak pidana Korupsi dalam perspektif Normatif?
3. Bagaimana
upaya pemerintah dalam memberantas Korupsi di Indonesia?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian korupsi.
2.
Untuk mengetahui penyebab atau latar
belakang terjadinya korupsi.
3.
Untuk mengetahui macam-macam dari
korupsi.
4.
Untuk mengetahui dampak adanya
korupsi.
5.
Untuk mengetahui langkah-langkah
yang dapat dilakukan untuk memberantas
korupsi
BAB II
LANDASAN TEORI
LANDASAN TEORI
2.1.
Pengertian Korupsi secara Teoritis
Kata Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang
artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Menurut Dr.
Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang
dan jabatan guna mengeduk keuntungan, dan merugikan kepentingan umum.
Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang
dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini
ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Maka dapat disimpulkan korupsi
merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan
berbagai macam modus.
Banyak para ahli yang
mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara
penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah
urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber
kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal
(misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri
sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan
adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau
pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga,
sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang
pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari
seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang
menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang
menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi.
Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang
diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya
atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi
dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian,
jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku
pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
2.2. Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Normatif
Memperhatikan
Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001,maka tindak
Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu korupsi Aktif dan Korupsi
Pasif, Adapun yang dimaksud dengan Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :
-
Secara
melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999)
-
Dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang
menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau dapat merugikan keuangan Negara,atau
perekonomian Negara (Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
-
Memberi
hadiah Kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999)
-
Percobaan
pembantuan,atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak pidana Korupsi (Pasal
15 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
-
Memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara Negara dengan
maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor
20 tahun 2001)
-
Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
Penyelenggara negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5
ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20 Tagun 2001).
-
Memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001)
-
Pemborong,ahli
bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada
waktu menyerahkan bahan bangunan,melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan
perang (Pasal (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
-
Setiap
orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan,sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a
(Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
-
Setiap
orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara nasional Indonesia
atau Kepolisian negara Reublik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
-
Setiap
orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara nasional
indpnesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja mebiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (pasal 7 ayat (1) huruf d
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001)
-
Pegawai
negeri atau selain pegawai negeri yyang di tugaskan menjalankan suatu jabatan
umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu,dengan sengaja
menggelapkan uang atau mebiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau
digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut
(Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
-
Pegawai
negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau sementara waktu,dengan sengaja memalsu buku-buku
atau daftar-daftar khusus pemeriksaan administrasi (Pasal 9 Undang-undang Nomor
20 Tahun 2001)
-
Pegawai
negeri atau orang selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja
menggelapkan menghancurkan,merusakkan,atau mebuat tidak dapat dipakai
barang,akta,surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan
di muka pejabat yang berwenang yang dikuasai karena jabatannya atau membiarkan
orang lain menghilangkan,menghancurkan,merusakkan,attau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut (Pasal 10 Undang-undang Nomor
20 tahun 2001).
-Pegawai negeri atau Penyelenggara Negara yang:
Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (pasal 12 e undang-undang Nomor 20 tahun 2001). Pada waktu menjalankan tugas meminta,menerima atau memotong pembayaran kepada pegawai Negeri atau Penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai hutang kepadanya.padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan mrupakan hutang (huruf f)
Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang seplah-olah merupakan hutang pada dirinya,padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang (huruf g)
Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai,seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,telah merugikan orang yang berhak,apadahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,pengadaan,atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan,untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya (huruf i)
-
Memberi
hadiah kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu (Pasal 13 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999).
Sedangkan Korupsi
Pasif adalah sebagai berikut :
-
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji
karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
-
Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mepengaruhi
nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 20 Tahun
2001)
-
Orang yang menerima penyerahan bahan atau keparluan tentara nasional indonesia,
atau kepolisisan negara republik indonesia yang mebiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c Undang-undang nomor 20 tahun
2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
-
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan utnuk mengerakkan agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,atau sebaga
akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 12 huruf a dan
huruf b Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
-
Hakim yang enerima hadiah atau janji,padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili (pasal 12 huruf c Undang-undang nomor 20
tahun 2001)
-
Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut
diduga,bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat uang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili (pasal 12 huruf d Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
-
Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang
diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya (pasal 12 Undang-undang nomor 20 tahun 2001).
BAB III
ANALISIS
Peraturan-peraturan
tentang pemberantasan korupsi silih berganti, selalu orang yang belakangan yang
memperbaiki dan menambahkan, namun korupsi dalam segala bentknya dirasakan
masih tetap mengganas. Istilah korupsi sebagai istilah hokum dan member batsan
pengertian korupsi adalah perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian Negara atau daerah atau badan hokum lain yang mempergunakan modal
dan/atau kelonggaran yang lain dari masyarakat, sebagai bentuk khusus daripada
perbuatan korupsi. Oleh karena itu, Negara memandang bahwa perbuatan atau
tindak pidana korupsi telah masuk dan menjadi suatu perbuatan pidana korupsi
yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara
dan daerah, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan
ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan
sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga)
pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
-
Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,
-
Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
-
Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.
Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk
mencegah dan memberantas korupsi yang tepat yaitu:
1. Strategi Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan
diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab
yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan
penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan
peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak dalam
pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.
2. Strategi Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama
dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka
perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan
dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem
tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan sinyal
apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya
berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan
sosial.
3. Strategi Represif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama
dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan
tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran
ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan di
segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat dilakukan secara
cepat dan tepat. Namun implementasinyaharus dilakukan secara terintregasi. Bagi
pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang
hendak dilaksanakan.
Adapula strategi
pemberantasan korupsi secara preventif maupun secara represif antara lain :
- Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu
pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini perlu adanya tekanan kuat dari
masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan rakyat anti korupsi, LSM,
ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama
dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya koalisi
dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama ini pemberantasan
korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari dukungan saja
tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan
rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan
dukungan moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
- Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua
aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur,
disiplin, dan bertanggungjawab serta memiliki komitmen yang tinggi dan
berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang status sosial untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan membenahi
sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur structure follows
strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi yang sudah ada
terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya
masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
- Gerakan “Moral” yang secara terus menerus
mensosialisasikan bahwa korupsi adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan
yang melanggar harkat dan martabat manusia. Melalui gerakan moral
diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat yang sangat
menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima,
mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain
dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau
seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang
efektif membangun peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.
- Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan
menyusutkan jumlah pegawai dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja
yang optimal dengan jalan menempatkan orang yang sesuai dengan kemampuan
dan keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai yang melakukan korupsi,
dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka yang telah terbukti
bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah kejahatan
terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan korupsi berarti
melanggar harkat dan martabat kehidupan
Negara
mengeluarkan 3 produk hukum tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
yaitu: UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU
No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No 28 Tahun 1999 tentang
enyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Kesimpulan dari ketiga UU yang menyangkut pemberantasan
tindak pidana korupsi ini merupakan lex specialis generalis. Materi
substansi yang terkandung didalamnya antara lain :
1.
Memperkaya diri/orang lain secara melawan hokum (Pasal 2 ayat (1) UU No.31
Tahun 1999). Jadi, pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah setiap orang
baik yang berstatus PNS atau No-PNS serta korporasi yang dapat berbentuk badan
hokum atau perkumpulan.
2.
Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
3.
Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
4.
Adanya oenyakahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana (Pasal 3 UU N0.31 Tahun 1999).
5. Menyuap
PNS atau Penyelenggara Negara (Pasal 5 UU No.20 Tahun 2001).
6.
Perbuatan curang (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001).
7.
Penggelapan dalam jabatan (Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001).
Oleh karena itu, keberadaan produk regulasi yang diberikan
Negara untuk
menyelamatkan
keuangan Negara dari perilaku korupsi, sangatlah dituntu kepada para aparat
penegak hokum lainnya untuk semkasimal mungkin dapat memahami rumusan delik
yang terkait dan menyebar di setiap pasal yang ada agar tepat dalam menerapkan
kepadapara pelaku.selain itu juga diperlukan strategi pemberantasan korupsi yang sangat jitu dan
tepat.
Penerapan sangsi normatif mengenai korupsi kepada para
pelakunya tidakakan bermanfaat dan bernilai penyesalan bilamana tidak diikutkan
juga beberapa strategi. Ada 3 hal yang harus dilakukan guna mengurangi sifat
dan perilaku masyarakat untuk korupsi, anatara lain;
(1) menaikkan gaji pegawai rendah dan menengah,
(2) menaikkan moral pegawai tinggi, serta
(3) legislasi pungutan liar menjadi pendapat resmi atau
legal.
BAB IV
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Korupsi adalah suatu
tindak perdana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara atau
perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek.
Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan
uang Negara untuk kepentingannya.Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan dan
kelemahan pemimpin,kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme, penjajahan
rendahnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras, kelangkaan
lingkungan yang subur untuk perilaku korupsi, rendahnya sumber daya manusia,
serta struktur ekonomi.Korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu
bentuk, sifat,dan tujuan.Dampak korupsi dapat terjadi di berbagai bidang
diantaranya, bidang demokrasi, ekonomi, dan kesejahteraan negara.
3.2. Saran
Sikap untuk menghindari korupsi
seharusnya ditanamkan sejak dini.Dan pencegahan korupsi dapat dimulai dari hal
yang kecil
DAFTAR
PUSTAKA
Muzadi, H. 2004.
MENUJU INDONESIA BARU, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Malang : Bayumedia Publishing.
Lamintang, PAF dan
Samosir, Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia .Bandung : Penerbit Sinar Baru.
Saleh, Wantjik. 1978.
Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia . Jakarta : GhaliaIndonesia
SUMBER: http://kumpulanmakalah-cncnets.blogspot.com/2012/02/makalah-korupsi.html